Tuesday, January 9, 2018

Bersusah-susah, yuk!



"Aku ngga nyangka sih, ternyata kamu juga harus nabung untuk beli tas yang kamu pengenin."
"Wah beneran kamu pake lip cream merk lokal W*****? Aku kira kamu bakal pake Kylie atau Girlactik."
"Aku kira kamu bukan tipe orang yang mau kerja di tempat terpencil." (dalam konteks pembicaraan dengan topik dokter gigi PTT (Pegawai Tidak Tetap) atau dokter gigi tenaga kontrak, program pemerintah daerah untuk dokter/dokter gigi yang akan ditempatkan di puskesmas daerah selama 1 tahun)

Wah sering sekali saya mendengar pendapat lawan bicara saya dengan konteks mirip seperti contoh di atas.  Jelas saya punya andil hingga lawan bicara saya memandang saya dalam sudut pandang tersebut. Di media sosial memang saya jarang mengunggah foto ataupun cerita ketika saya sedang berjuang, yang saya unggah lebih sering foto-foto atau cerita ketika saya traveling, berpartisipasi di event tertentu, bertemu dengan orang-orang hebat, hingga foto OOTD (Outfit of The Day). Kebanyakan manusia memang begitu ya, sepertinya? 

Saya pribadi merasa tidak nyaman sih mengunggah kesulitan-kesulitan atau perjuangan yang sedang saya hadapi, lebih karena takut kesannya saya mengeluh dan akhirnya membuat orang lain tidak nyaman. Sementara jika saya mengunggah cerita traveling misalnya, paling tidak ada hal positif yang bisa diambil, contohnya tentang bagaimana indahnya pariwisata di Indonesia sehingga kita tidak perlu jauh-jauh ke luar negri saat ingin berlibur, tentang betapa terawat dan edukatifnya museum yang dimiliki perseorangan di Yogyakarta sehingga kita paling tidak bisa terinspirasi untuk juga berbuat sesuatu untuk tanah air kita. 

Tapi jika dipikir secara logika, tidak mungkin hidup ini tanpa berjuang, iya kan? Everybody is fighting their own battles we know nothing about, katanya. Tidak usah membahas terlalu jauh tentang battle yang sebegitu rumitnya dulu mungkin, untuk bisa staycation di hotel-hotel yang saya review di blog ini  contohnya, saya seperti berjuta-juta manusia lainnya juga harus bekerja dan menabung. Berangkat dari jam 8 pagi non stop hingga jam 9 malam, bahkan sudah biasa untuk makan siang atau makan malam saya lakukan di mobil sambil menyetir dari tempat kerja yang satu ke tempat kerja berikutnya. Makanan pun saya bawa bekal dari rumah, begitu juga untuk air minum saya bawa botol berisi air dari rumah. Supaya hemat dan tidak harus jajan di luar. Supaya uangnya bisa ditabung untuk investasi lain dan traveling. Saya juga sering bekerja di hari Sabtu dan Minggu, ketika normalnya waktu tersebut bisa diluangkan untuk sekedar jajan di coffee shop atau nonton di bioskop.

Saya pun jarang bertemu dengan bapak dan ibu karena mereka berdua sibuk bekerja. Kalau di film sering ada adegan seorang anak yang merasa broken home dan tidak diperhatikan orang tuanya karena sibuk bekerja, saya justru terinspirasi dari orang tua saya. Rumah saya sudah mirip seperti restoran cepat saji 24 jam. Karena rasanya seperti selalu ada kehidupan 24 jam non stop. Sering bapak baru pulang jam 12 malam dan harus penerbangan paling pagi keesokan harinya, jam 4 pagi beliau sudah berangkat ke bandara. Dalam satu hari pun beliau bisa ada di 3 kota berbeda sampai-sampai saya sering bingung saat ada yang tanya "Bapak lagi dimana?" I often lose track of him. 

Tapi jujur justru saya terinspirasi. Dari situ saya terbiasa dengan kondisi bahwa untuk bisa merasakan pengalaman hidup yang maksimal memang harus bersusah-susah. Pasti ada opportunity cost yang harus dibayar. Untuk bisa traveling ya harus berkerja dan berhemat, untuk bisa jadi dokter yang hebat ya harus belajar setiap hari dan mau berjuang dari bawah, untuk merasakan pengalaman hidup dan mengenal tanah air kita hingga suatu hari nanti kita bisa berkontribusi dengan maksimal ya harus siap melihat dengan mata kepala sendiri dan merasakan bagaimana hidup di daerah underprivileged.
 
Siddhartha Gautama tidak menjadi Buddha dengan menjadi raja di kerajaannya. Juga tidak dengan berkeliling dari kerajaan satu ke kerajaan yang lain. Siddhartha Gautama menjadi Buddha dengan terjun ke rakyatnya yang hidup serba kesulitan, dengan menjadi pertapa, dengan meninggalkan kehidupannya yang serba berkecukupan. Intinya tidak mungkin sih hidup itu enak terus, gampang terus, dibalik semua gemerlap yang saya dan semua manusia lain unggah di media sosial, saya coba untuk positive thinking dan percaya bahwa mereka pun merasakan tahap bersusah-susah dan berjuang. 

Jujur saya berharap semoga saya pun selalu diberi keterbukaan pikiran untuk melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang dan selalu siap untuk memberikan effort yang maksimal agar dapat menjalani hidup yang bermakna, humble yet contentful life, I hope. Mungkin di antara yang tidak sengaja membaca unggahan ini juga ada yang sering mendapat tanggapan seperti di atas dari lawan bicara? Bagaimana menurut kamu, nih?

No comments: